PARADIGMA PELAYANAN KESEHATAN

Organisasi pelayanan kesehatan saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong pelayanan kesehatan yang berorientasi kemanusiaan menjadi tempat pelayanan kesehatan yang berorientasi ke keuntungan. Karena menjadi sebuah bisnis maka pengelolaannya tidak terlepas dari upaya untuk meraih keuntungan, apalagi ditunjang dengan semakin meningkatnya peran swasta dalam menyediakan sarana dan prasarana kesehatan. Diperlukan sebuah upaya menerapkan perencanaan bisnis dalam pengelolaan tempat pelayanan kesehatan yang cenderung menjadikan tempat pelayanan kesehatan sebagai asset yang akan memberikan keuntungan setiap bulan maupun tahun.

Perubahan paradigma dari berorientasi kemanusiaan ke berorientasi ke keuntungan sudah diantisipasi oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang memasukkan pelayanan kesehatan sebagai objek hukum perlindungan konsumen, dan menempatkan penerima layanan kesehatan sebagai konsumen serta tenaga kesehatan sebagai pelaku usaha dalam hubungan hukumnya. Ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Dalam upaya perlindungan konsumen tersebut maka harus ditegaskan yang disebut dengan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan, menyebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Demikian pula dengan penghormatan hak, baik hak-hak pasien pada khususnya, maupun hak-hak konsumen pada umumnya. Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik.

Pelanggaran terhadap hukum dan etik tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi kepada para pelanggarnya. Jika tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya masih melakukan beberapa kelalaian sehingga pasien terabaikan di rumah sakit maka kejadian tersebut dapat dikatakan sebagai penelantaran terhadap pasien. Dalam arti kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan pasien. Penelantaran ini tergolong pelanggaran berat karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 304 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan, “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Jika kejadian penelantaran, malpraktik ini dibiarkan maka akan merugikan pasien dan keluarganya sehingga harus diminimalisir agar tidak terjadi kasus yang merugikan konsumen.

Untuk menanggapi perubahan paradigma pelayanan tersebut maka perlu dilakukan sebuah perubahan, hal ini dilakukan dengan terencana oleh manajemen. Sedangkan sebagai pengguna pelayanan kesehatan harus ikut melakukan andil untuk melakukan perubahan dengan cara meningkatkan atau menaikkan kekuatan posisi dan kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya. Kekuatan dan kemampuan konsumen, secara bersama-sama untuk tidak mudah menerima hak dan kewajibannya sehingga dipermainkan oleh pengelola pelayanan kesehatan.